Monday, June 8, 2009

Nyanyian jiwa



Sekian lama terpasung luka yang menganga, terbungkus perih, dingin dan membeku. Aku tak pernah bercerita pada mentari, tak jua pada burung-burung di udara. Terpendam dalam, terbungkus rapi seolah diriku baik-baik saja. Terpasang topeng bahagia di atas derai tawa nan semu. Tak hiraukan lagi teriakkan hati yang menjerit sakit. Ku berlari, terus berlari berharap perjalanan waktu mampu menghapus semua.
Tapi sia-sia ku melangkah, sejauh apapun aku berlari, aku kembali tertarik, terpuruk masuk dalam kubangan luka lama. Tapi ku tak mau taklukkan ego yang menguasa, tak jua ku singkirkan benci yang merasuki. Kubangun tembok keangkuhan diri atas nama ketegaran, ku pasang bendera perang pada hati yang telah membuat luka bahkan pada kaumnya. Ku teriakkan amarah bersama angin. Satu tekad bulat terpatri di hati , ‘takkan ku biarkan dia dan kaumnya masuk melompati tembok hati dan membuat luka lagi’.
Ku bentangkan sayap-sayap patah ku terbang ke angkasa, terjangi badai yang menggila. Mencoba terus bertahan, berharap Sang Pencipta memberi kekuatan, hingga ku dapati bentangan pelangi di balik badai.
Tapi ku tak mampu terbang tinggi, sayap-sayap patah ku kehilangan kuatnya. Satu-satu nafas ku terhela, sesak memenuhi relung jiwa. Berpeluh lelah, meresah, mendera. Aku tersungkur jatuh di dalam kubangan yang sama’luka’.

Ku bermenung, resapi jejak hati, selami jiwa. Salahkan siapa?? Salah kan Sang Pencipta yang seolah tak peduli, Salah kan para penghuni bumi?? Atau diri yang di jubahi benci??
Bisikan bijak menggema di ruang hati. Aku sebenarnya tau cara terbaik tuk baluti luka, tapi selama ini ku biarkan degil ku berkuasa.
Perlahan ku tumpu kan seluruh badan di atas lutut ku. Ku bersimpuh menghadap Sang Penguasa.
Tangis ku pecah terderai, ku biarkan memori-memori tentangnya menyeruak keluar, terkorek semua luka yang terpendam dalam, menembus setiap tembok keangkuhan diri. Terbayang jelas seolah berlaku saat itu. Amarah ku meraja, ku teriakkan semua benci, marah,sakit, luka dan rasa tak terima ku. Dan di atas puncak sakit yang menjulang keluar itu, aku lemparkan pengampunan atas nya, berulang kali, terus dan terus aku lemparkan pengampunan.

Dan bak semburan air surgawi menghujani ku, membasuh luka, hapus benci dalam diri, kutarik nafas dalam, lega. Kurasakan tangan Sang Penguasa mendekap ku, damai dan tenang. Dengan segala ketulusan aku berkata, ‘aku mengampuninya, memaafkan nya.’

Seolah menemukan kembali kekuatan hati yang lama hilang, aku bertekad bangkit dari keterpurukan. Tak ada lagi luka, tak ada lagi benci hanya kasih yang memenuhi ruang di hati.
Tak henti-hentinya mulut ku berucap syukur, Sang Penguasa telah baluti luka ku, beri ku kekuatan untuk memaafkan. Hari itu, senja di bulan Juni, di temani bias jingga cakrawala ku yakinkan diri atas hati yang tak lagi meluka.
Senyumku merekah, aku tak kan lagi terbang dengan sayap-sayap patah. Aku siap manghalau badai hingga ku dapati pelangi membentang di sana.

No comments:

Post a Comment